SELAMAT DATANG DI DESA

KATAKANLAH WALAU SATU AYAT

BALEE DESA Headline Animator

14 Desember, 2008

SAMAKAH GAMPONG DENGAN DESA.

Oleh : Mahlil Akhena
Jika kita coba sedikit mundur dan melihat masa-masa kejayaan aceh, maka kita akan mendapatkan satu istilah yang selama ini dipakai namun tanpa makna hanya sekedar romantisme sejarah saja, istilah tersebut adalah gampong, karena pada kenyataan nya gampong itu tidak lebih hanya sebutan nama lain dari desa. Sebenarnya apa itu gampong?, apa saja yang ada digampong?, dan bagaimana gampong dikelola dahulu kala sehingga bisa makmur dan sejahtera yang pada akhirnya menciptakan aceh yang berjaya pada saat itu, dan apakah dulu adanya yang namanya alokasi dana gampong (ADG) yang kucurkan oleh kerajaan kepada gampong dan apakah gampong memiliki perencanaan seperti RPJMG yang sekarang sedang gencarnya-gencarnya di kampanyekan semua orang, tulisan ini akan coba mengupas sedikit akan hakikat gampong, apakah sama dengan desa atau gampong itu memiliki cirikhas sendiri dan tidak layak kalau disebut gampong itu nama lain dari desa.

Snouck Hurgrunje (1985), berkata: gampong merupakan satuan teritorial terkecil. Sebuah gampong dilingkari pagar, dihubungkan oleh satu pintu gapura dengan jalan raya (rèt atau rót), suatu jalan yang melewati blang atau lampoh serta tanah yang menuju ke gampong lain. Dulu setiap gampong mencakup satu kawom (satuan-satuan baik dalam artian teritorial maupun kesukuan) atau sub-kawom yang hanya akan bertambah warganya dengan perkawinan dalam lingkungan sendiri, atau paling tidak, dengan meminta dari warga sesuku yang bermukim berdekatan.
Gampong dipimpin oleh keuchik dengan adanya Keuchik maka wewenang uleebalang menjadi kurang di wilayah gampong itu. Dalam sejarahnya, jabatan uleebalang dijabat secara turun-temurun. Keuchik didasarkan pada kenyataan hakiki bahwa dialah yang membela kepentingan dan keinginan warga, baik berhadapan dengan uleebalang maupun gampong lain. Keuchik menguasai satu gampong, namun ada juga yang mengepalai 2-3 gampong. (Snouck Hurgrunje, 1985).
Gampong dipimpin Keuchik dan Teungku Imuem Meunasah. Keuchik bertugas di bidang administrasi pemerintahan dan berjalannya hukum (adat), sedangkan Teungku Imuem Meunasah bertanggungjawab atas terlaksananya kehidupan keagamaan masyarakat, berjalannya hukum (syariat), terselenggaranya pendidikan (agama dan moral), dan atas bidang-bidang lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan kemasyarakatan
Sedang kan mengenai jerih atau honor bagi keuchik pada saat itu, menurut Snouck (1985), hanya sebatas ha’ katib atau hak cupéng (imbalan untuk bantuan yang diserahkan dari keuchik itu untuk pernikahan wanita warga gampongnya) saja, atau kira-kira tarif seperempat ringgit (semaih atau seemas). Sedangkan untuk jasa-jasa yang diberikan keuchik kepada warganya akan dikerjakan dengan ikhlas dan tekun, sesuai dengan jumlah hadiah yang diberi yang disebut ngoen bloe ranub (uang pembeli sirih).
Keuchik (geuchik) dalam perspektif gampong, tidak hanya berkedudukan sebagai pemimpin masyarakat dan wilayah. Keuchik juga sebagai pemangku adat di tingkat gampong.
Keuchik mempunyai wewenang :
1. Memelihara tertib-aman,
2. Mengusahakan kesejahteraan.
Dalam hal kesejahteraan penduduk, keuchik berwenang mengatur pemindahan keluarga ke gampong lain, di mana harus dengan seizin keuchik, ini dikarenakan akan berdampak dalam hal berkebun; sama dengan orang yang bermukim di gampong; Perkawinan juga harus mendapatkan izin dari keuchik, terutama berkenaan dengan usia sigadis apakah masih di bawah umur atau sudah dewasa, atau perkawinan yang bertentangan dengan hukum adat, yang berarti bertentangan dengan hukum syariat (Snouck Hurgrunje, 1985).
Dalam sebuah gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lain yang dinamakan waki, yang merupakan wakil dari keuchik. Gampong merupakan pemerintahan di bawah mukim. Mukim adalah gabungan beberapa gampong yang merupakan perangkat pemerintahan. Rusdi Sufi, 2002).
Dalam melaksanakan tugasnya dalam kehidupan masyarakat, Keuchik dibantu Tuha Peut (sekumpulan orang yang dituakan karena memiliki beberapa kelebihan). Tuha Peut umumnya memikul tugas rangkap; di samping sebagai penasehat Keuchik, juga sebagai pemikir, penimbang, dan penemu dasar-dasar hukum atas sesuatu keputusan atau ketetapan adat. Kecuali itu, dalam kasus-kasus tertentu mereka kadang-kadang harus berposisi sebagai dewan juri.(Hakim Nya’ Pha, 1998).
Selain tuha peut digampong juga ada yang namanya Tuha Lapan, menganai tuha lapan terdapat dua persi pendapat namun tidak jelas sumbernya, karena berdasarkan tutur dari masyarakat.
Ada dua versi yang berkembang ditingkat masyarakat berkenaan dengan siapa itu tuha Lapan :
1. Tuha lapan merupakan wakil masyarakat yang sesuai dengan
keahliannya terdiri dari unsur ; hukum, ekonomi, politik, agama,
pertahanan, pertanian, pemuda dan wanita. (Anonimous).
2. Tuha lapan adalah unsur ; hukum, ekonomi, politik, agama, pertahanan, pertanian, pemuda dan wanita. .bertindak sebagai pendamping/penasehat dan mengawal rodanya pemerintahan gampong, 4 orang yang mendampingi Geuchik dan 4 orang yang mendampingi Imum Meunasah (Anonimous).
Diperjelas lagi oleh Hakim Nya’ Pha (2001), bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan dan kehidupan gampong, Keuchik dan Teungku Imeum Meunasah dibantu oleh berbagai lembaga adat lainnya yang biasanya dipimpin oleh ahlinya sesuai dengan bidangnya.
1. Bidang administrasi dibantu waki (Keurani);
2. Bidang pendidikan dibantu Teungku Inoeng, Teungku Cut, Leubè,
Teungku Leubè;
3. Bidang pengambilan keputusan ada Tuha Peut dan Tuha Lapan;
4. Bidang mata pencaharian ada Keujreun Blang, Peutua Seuneubok,
Panglima Laot, Pawang Gléé;
5. Bidang perkawinan ada seulangké, peunganjo;
6. Bidang kesehatan ada dukon, ma blién;
7. Bidang hukum ada lembaga weuk waséé, lembaga suloh, lembaga hak langgéh;
8. Bidang perekonomian ada lembaga mugè, meusyarikat, gala, mawaih, meudua laba, dan lain-lain.
Roda pemeritahan gampong dipusatkan disatu tempat yang namakan dengan meunasah, menurut Iskandar A. Gani 1998, lembaga meunasah sebagai sarana masyarakat adat menjalankan roda pemerintahan tingkat gampong, dan keberadaan lembaga meunasah menggambarkan ciri khas sebuah gampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah, tidak dapat disebut gampong.
Di samping yang telah disebutkan, dalam masyarakat Aceh juga dikenal adanya beberapa lembaga. Misalnya, lembaga ekonomi dalam masyarakat gampong, sebagai sumber keuangan untuk biaya pemeliharaan Meunasah dan membiayai sebagian honor Imeum Meunasah, digunakan umoeng meusara. Umoeng musara itu sebagai tanah yang diwakafkan untuk kemaslahatan gampong oleh orang tertentu. Hasil penggarapan tanah inilah yang digunakan (Alfian, dalam Syafei Ibrahim, 1999).
Sebenarnya, hasil umoeng meusara atau tanah meusara ini juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial. Untuk membantu orang yang terkena musibah di gampong, misalnya. Sumber pendapatan itu juga biasanya untuk membantu pengajian, dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sosial (Syafei Ibrahim, 1999).
Sementara teungku adalah gelar yang digunakan untuk beberapa kategori (Snouck Hurgrunje, 1985), antara lain:
1. Untuk seorang leubè (lebai atau santri) yang sungguhpun bukan termasuk ulama, namun tekun melakukan ibadah maupun seorang haji yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah.
2. Bagi seorang malém (mualim; bahasa Arab, artinya guru) yang berpengetahuan mengenai kitab-kitab keagamaan, dan bagi seorang além (alim, orang yang berilmu) yang telah melengkapi pendidikan agama.
3. Dipakai terhadap pria dan wanita yang memberi pengajaran dasar mengaji al-Quran di meunasah-meunasah.
4. Kepada kadi (kali) yang bertindak sebagai hakim agama dalam wilayah uleebalang.
Penghasilan teungku sendiri berasal dari :
1. Fitrah (bila malém juga ada penghasilan lain dari pengobatan orang),
2. Jakeut (zakat),
3. Imbalan uang pengurusan pernikahan,
4. Hak taleukin (uang talkin) pada peristiwa pemakaman, dan
5. Uang Jasa dari keuchik bila turut serta pada kunjungan uleebalang dalam menyelesaikan perkara.
(Snouck Hurgrunje, 1985).
Bersambung yah............


Baca Selengkapnya......